Oleh :
IMAN SOLIKHIN, S.Sos., M.A.P.
(Penyuluh KB Ahli Madya Kabupaten Brebes)

Perceraian apapun alasannya merupakan satu hal yang paling tidak diinginkan oleh para pasangan yang telah melakukan ikrar dan komitmen untuk menjalani kehidupan bersama melalui sebuah ikatan pernikahan. Meski demikian, jika melihat data yang ada, kita pantas untuk merasa prihatin, sebab angka perceraian di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2023 terdapat 463.654 kasus perceraian di Indonesia (https://databoks.katadata.co.id). Meskipun sedikit mengalami penurunan dibanding tahun 2022, namun tetap saja angka tersebut tergolong tinggi.
Akibat adanya perceraian, memberikan dampak yang begitu luar biasa bagi berbagai pihak, terutama anak-anak dari hasil pernikahan. Perceraian dapat meningkatkan risiko masalah kesehatan mental pada anak-anak dan remaja. Tanpa memandang usia, jenis kelamin, dan budaya, anak-anak dari orang tua yang bercerai mengalami peningkatan masalah psikologis (https://www.halodoc.com).
Perceraian juga memberikan dampak bagi anggota keluarga yang lain. Yang kerapkali muncul adalah perasaan dan sikap saling menyalahkan diantara keluarga masing-masing pasangan. Bahkan tidak jarang, akibat adanya perceraian mengakibatkan putusnya tali silaturahmi diantara keluarga besar kedua belah pihak. Bagi pasangan suami istri yang bercerai, maka akan menyandang status baru yakni menjadi duda atau janda.
Dalam kacamata Program Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Stunting, tingginya angka perceraian di Indonesia, tentu menjadi sebuah fenomena yang patut untuk dicarikan solusinya. Sebab, tingginya angka perceraian di Indonesia, tentu berhubungan dengan kondisi ketahanan keluarga-keluarga di Indonesia. Keluarga yang terpaksa bercerai, bisa jadi tidak cukup mempunyai bekal pengetahuan, pemahaman dan keterampilan dalam mengarungi mahligai rumah tangga. Selain itu, yang juga harus dicermati adalah bahwa tingginya angka perceraian akan berpotensi meningkatkan angka kejadian stunting di Indonesia.
Seperti yang telah disampaikan di atas, bahwa salah satu dampak dari adanya perceraian adalah berubahnya status pasangan yang bercerai menjadi seorang janda dan seorang duda. Dan bukan tidak mungkin, banyak diantara pasangan yang bercerai tersebut adalah pasangan yang masih kategori pasangan usia subur, yang mana usia perempuannya di rentang usia 15 – 49 tahun. Ini artinya, dari perceraian yang terjadi, akan ada janda dengan kondisi masih usia subur dan berpotensi akan hamil dan melahirkan kembali, jika ia memutuskan untuk menikah lagi kelak di kemudian hari.
Apakah seseorang yang menikah kembali, setelah bercerai dengan pasangan sebelumnya berpotensi untuk hamil dan melahirkan kembali..?? Berdasarkan pengalaman yang penulis temui di lapangan, orang yang menikah kembali setelah bercerai dan kondisi perempuannya masih masuk kategori usia subur, sebagian besar memutuskan untuk mempunyai anak. Mereka beralasan bahwa, dengan adanya anak bisa menjadi pengikat bagi keduanya. Terlebih bagi pasangan yang dari pernikahan sebelumnya belum atau bahkan tidak memiliki anak.
Kondisi ini diperkuat dengan masih kentalnya budaya patriarkhi dalam kultur sosial kita, termasuk dalam ranah keluarga. Dalam kultur keluarga kita, perempuan seringkali tidak cukup mendapat porsi yang seimbang dalam pengambilan keputusan atau kebijakan. Banyak perempuan yang “terpaksa” hamil dan melahirkan lagi, meski kondisi fisik dan kesehatan sudah tidak mendukung, hanya demi menuruti keinginan dan keputusan sang suami yang menghendaki untuk mempunyai anak atau menambah jumlah anak.
Padahal kegiatan yang terkait dengan reproduksi sejatinya adalah bagian dari hak-hak kaum perempuan (istri) yang harus dihormati. Salah satu hak perempuan yang terkait langsung dengan perannya sebagai seorang istri adalah hak untuk menentukan jarak kelahiran anak dan kehamilan. Menyangkut kehamilan, istri punya hak karena dia lah yang punya tubuh untuk hamil dan melahirkan. Istri mempunyai hak menentukan kapan melahirkan dan punya anak.
Permasalahan yang kemudian muncul adalah jika ibu (perempuan) yang hamil tersebut sudah masuk kategori terlalu tua, yakni usianya sudah lebih dari 35 tahun, maka ini akan menjadi kehamilan yang beresiko termasuk beresiko melahirkan generasi stunting. Kondisi ini akan sangat mungkin terjadi, mengingat bagi seorang perempuan yang bercerai, ia akan lebih lama untuk memutuskan menikah kembali. Dengan demikian, ketika pada akhirnya ia memutuskan untuk menikah kembali, secara usia sudah masuk kategori beresiko. Padahal, sebagaimana yang kita ketahui, berbagai faktor risiko terjadinya stunting di Indonesia dapat berasal dari faktor ibu, anak, maupun lingkungan. Usia ibu saat hamil termasuk salah satu faktor risiko penyebab stunting pada anak.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rangga Pusmaika, dkk di Kabupaten Tangerang pada tahun 2018 yang lalu diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara usia ibu saat hamil dengan kejadian stunting. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas ibu hamil diusia berisiko memiliki anak stunting (61,76%) dan ibu hamil diusia yang tidak berisiko mayoritas memiliki anak yang tidak stunting (63,16%) (Pusmaika, 2018).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Fitriana pada tahun 2021 juga mendapatkan hasil yang serupa. Dari penelitian yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bangkalan diperoleh kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur ibu saat melahirkan dengan kejadian stunting. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara umur ibu terhadap status stunting (Fitriana, 2021).
Berdasarkan hasil kedua penelitian tersebut terlihat bahwa, usia seorang ibu saat hamil memiliki hubungan yang siginifikan dengan kejadian stunting. Artinya, seorang ibu yang hamil dalam kondisi usia yang terlalu muda atau terlalu tua, akan berpotensi melahirkan bayi stunting. Dengan demikian, meski tidak secara langsung perceraian juga berpotensi meningkatkan lahirnya generasi stunting.
Lantas apa yang bisa kita lakukan..?? Menurut penulis, setidaknya terdapat dua yang dapat kita lakukan. Pertama, memberikan bekal pengetahuan, pemahaman dan keterampilan kepada para remaja akhir dan calon pengantin tentang persiapan memasuki kehidupan berkeluarga. Kualitas sebuah pernikahan sangat ditentukan oleh kesiapan dan kematangan kedua calon pasangan dalam menyongsong kehidupan berumah tangga. Oleh karena itu sebelum memutuskan untuk menapaki jenjang pernikahan, alangkah baiknya para calon pasangan untuk dapat mempersiapkan semuanya sebaik-baiknya. Dengan bekal persiapan yang cukup, diharapkan setiap keluarga yang terbentuk akan menjadi keluarga yang berkualitas, keluarga yang memiliki ketahanan sehingga mampu mengatasi berbagai permasalahan yang ada, termasuk permasalahan yang paling berat yang berpotensi berujung perceraian. Dengan demikian, perceraian dapat dihindari.
Kedua, jika perceraian itu tetap terjadi dan si perempuan pada akhirnya memutuskan untuk menikah dan hamil lagi, maka yang harus dilakukan adalah memberikan pendampingan secara ekstra terhadap ibu hamil tersebut, terlebih jika masuk kategori hamil yang beresiko. Periode kehamilan merupakan periode kritis kedua yang menentukan terjadinya kasus stunting. Seribu hari sejak wanita hamil sampai dengan anak merayakan hari ulang tahun kedua menjadi “jendela peluang” masa depan anak yang sehat dan sejahtera, oleh karenanya seluruh ibu hamil harus dilakukan pendampingan. Dalam periode kehamilannya ibu hamil akan memperoleh beberapa assessment (penapisan) untuk memperoleh profil kesehatannya dan menentukan intervensi yang harus dilakukan, baik intervensi gizi sensitif maupun intervensi gizi spesifik selama periode kehamilannya. Dengan demikian, ibu hamil terfasilitasi kebutuhan kesehatannya, gizinya, pengetahuan tentang stunting, maupun aspek mental dan psikologisnya.
REFERENSI
Annur, Cindy Mutia. 2024. Kasus Perceraian di Indonesia Turun pada 2023, Pertama sejak Pandemi. Diakses pada tanggal 11 April 2024 dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2024/02/29/kasus-perceraian-di-indonesia-turun-pada-2023-pertama-sejak-pandemi
Fadli, dr Rizal. 2022. Ini 4 Dampak Perceraian bagi Kesehatan Mental Anak. Diakses pada tanggal 11 April 2024 dari https://www.halodoc.com/artikel/ini-4-dampak-perceraian-bagi-kesehatan-mental-anak
Fitriana. 2021. Hubungan Umur Ibu Saat melahirkan dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkalan (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Bangkalan). Diakses pada tanggal 11 April 2024 dari https://repository.stikesnhm.ac.id/id/eprint/1142/1/19153020018-2021-MANUSCRIPT-converted.pdf
Pusmaika, Rangga, dkk. 2018. Hubungan Usia Ibu Saat Hamil dengan Kejadian Stunting Pada Balita di Kabupaten Tangerang. Jurnal Indonesian Health Issue Vol. 1 No. 1 (2022). Diakses pada tanggal 11 April 2024 dari https://inhis.pubmedia.id/index.php/inhis/article/view/11